Senin, 03 Mei 2010

Stres Membuat Kita Pelupa?


Menjadi pelupa dapat menyebabkan kita mengalami stres, terutama kalau sampai membuat pekerjaan terhambat. Namun, jangan lupa bahwa kadang kita menjadi pelupa justru karena stres.

Seorang ibu berusia menjelang lansia, sangat cantik, hadir di sebuah ruang konsultasi psikologi. Meski berdandan sangat rapi dan serasi, ekspresi wajah dan gerak tubuhnya menunjukkan ketegangan yang luar biasa.

Masalah yang pertama dikemukakan adalah problem ingatan (memori) yang menurutnya sangat parah. Ia sangat sering lupa di mana meletakkan buku-buku yang biasa di pakai untuk mengajar, lupa meletakkan dompet yang baru saja dipegang, dan sebagainya.

Sepintas, masalah lupa itu sepertinya persoalan biasa yang juga dihadapi orang-orang lain ketika usia semakin lanjut. Pada ibu ini tampaknya ada persoalan lain yang tidak sederhana. Ketegangannya pada saat itu merupakan petunjuk bahwa ia mengalami stres berat.

Penampilan yang elegan dan tutur kata yang cukup runtut tidak dapat menutupi stresnya. Selain ekspresi wajah yang tegang dan gerak tubuh resah, gelombang suaranya tidak stabil, mengesankan ia memiliki problem pernapasan. Ia bertanya kepada psikolog itu, “Menurut Anda saya tampak stres atau tidak?”

Dimulai dengan pertanyaan psikolog mengenai kapan ia mulai mengalami problem memori, sang ibu menjelaskan bahwa ini terjadi sejak ia masih muda, yakni sebelum lulus sarjana. Waktu itu seorang teman karib mengomentari bahwa ia mengalami kemunduran, tidak secerdas dulu, dan ia sendiri membenarkan hal itu. Kita tahu bahwa kecerdasan adalah fungsi kognitif, termasuk memori.

Pengalaman Traumatik
Dengan pertanyaan lebih lanjut, “Apakah ada kejadian-kejadian penting yang berlangsung sebelumnya? si ibu menceritakan rangkaian peristiwa yang mulai mengubah hidupnya menjadi cukup suram. Ia yang sebelumnya sering menjadi bintang kelas (karena cantik dan cerdas), menjadi ketua di salah satu asrama mahasiswa, sibuk dalam berbagai kepanitiaan, sangat buta dalam hal seksualitas, kemudian harus menerima kenyataan ia hamil (karena pacar), harus keluar dari asrama, menunda kuliah, menikah, hidup dengan mertua yang galak, repot membesarkan bayi (di usia muda), mengalami trauma dalam hubungan seksual, persoalan ekonomi rumah tangga, dst.

Meski kemudian dapat berumah tangga mandiri (lepas dari mertua) dan keadaan ekonomi jauh lebih baik, bertambah anak, menikahkan anak, bahkan sampai dikaruniai cucu, sepanjang perjalanan itu persoalan demi persoalan masih saja terjadi.

Berawal dari kesulitan dalam hubungan seksual (yang dianggap tabu untuk dibicarakan), akhirnya berkembang menjadi jurang dalam hubungan dengan suami. Terjadi kehausan akan kasih sayang, sampai-sampai berkembang menjadi keadaan neurotis: sering mengalami kecemasan yang tidak beralasan dan kompulsi dalam merias diri. Ibu tersebut juga sering menderita sesak napas kronis, memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan rekan kerja, dan sederet persoalan lainnya.

Tidak sulit untuk memahami mengapa ibu yang dikenal cerdas dan ceria di masa muda ini akhirnya memiliki problem memori yang cukup parah. Hal ini juga terjadi pada sebagian orang yang telah mengalami stres berat, seperti halnya mereka yang mengalami stres pasca pengalaman traumatik (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).

Namun, hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang mengalami tekanan (stressor) selalu berisiko mengalami problem memori. Ada hal-hal lain yang ikut menentukan merosotnya daya ingat atau fungsi memori.

Faktor Usia
Dalam kasus ibu tadi, faktor usia tentu saja juga berpengaruh terhadap kemerosotan daya ingat. Wajar bila orang yang memasuki usia tengah baya mengalami kesulitan dalam memperhatikan, belajar, dan mengingat kembali.

Pada masa-masa itu sebagian besar orang mengalami proses degeneratif pada sel-sel saraf otak yang menjalankan tugas menerima–menyalurkan–menyimpan informasi atau pengetahuan. Komunikasi antarsel saraf (neuron) yang terjadi pada saat kita melakukan proses mengingat atau melakukan fungsi kognitif lain telah berkurang atau terganggu setelah seseorang memasuki usia lebih lanjut.

Mengenai pengaruh faktor usia, dapat dikatakan bahwa sel-sel saraf otak memang sebagian mengalami kerusakan setelah seseorang menjadi tua. Namun, perlu kita ketahui bahwa neuron-neuron baru juga tumbuh (proses neurogenesis) sepanjang hidup kita, meski tidak sebanyak pertumbuhan pada masa kanak-kanak dan remaja. Dengan demikian, kita dapat menemukan adanya orang-orang lanjut usia yang fungsi kognitifnya tetap efektif.

Gangguan Emosi dan Kognisi
Selain faktor usia yang memberikan kemungkinan penurunan fungsi memori, peristiwa-peristiwa hidup yang sangat menekan yang terus ditanggapi dengan emosi negatif merupakan pemicu terjadinya penurunan fungsi kognitif dalam kasus ibu di atas. Dalam keadaan stres berat dan depresi seseorang memang cenderung mengalami penurunan fungsi kognitif (tidak mampu memahami sesuatu dengan baik, berpikir dengan lancar, termasuk mengingat informasi dengan baik).

Bagaimana hal ini terjadi? Aaron P. Nelson dari Harvard Medical School yang aktif sebagai praktisi yang menangani masalah-masalah memori, menegaskan bahwa gangguan psikologis seperti depresi, PTSD, dan stres berat, dapat mengganggu tercapainya ingatan yang optimal. Meski demikian, bila masalah psikologis itu diatasi, fungsi ingatan akan pulih.

Depresi dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, berfokus pada detail, dan menyerap informasi baru. Gangguan tidur yang sering menyertai depresi jelas menyebabkan permasalahan kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang depresi dapat menyebabkan hilangnya neuron pada hipokampus dan amigdala, yaitu bagian otak yang sangat penting bagi ingatan.

Sebuah penelitian yang diakses oleh Nelson menunjukkan bahwa wanita yang memiliki sejarah depresi yang terus-menerus memiliki hipokampus dan amigdala lebih kecil (terjadi penyusutan neuron-neuron) daripada wanita yang tidak depresi. Wanita itu memiliki performa buruk dalam tes ingatan verbal.

Dalam pengalaman praktik klinik Nelson, kombinasi psikoterapi dan pengobatan terhadap depresi serta gangguan tidurnya dapat mengatasi masalah tersebut dengan baik dan mengembalikan fungsi-fungsi kognitifnya secara menyeluruh. Hal ini dimungkinkan bila keadaan depresinya tidak berkembang menjadi penyakit alzheimer (penyakit lupa yang memiliki dasar neurologis) yang memerlukan penanganan lebih khusus.

Dalam kasus PTSD, ingatan terus-menerus akan peristiwa traumatik yang terjadi telah mengganggu proses akuisisi informasi baru dan mengingat informasi yang tidak ada kaitannya dengan trauma yang dialami. Yang menjadi persoalan adalah terjadinya stres serius yang terus-menerus ini mendorong diproduksinya hormon kortisol, yang pada akhirnya merusak struktur otak yang penting bagi ingatan, yaitu pada hipokampus dan sistem limbik.

Pada kasus stres umum yang mengakibatkan gangguan memori, dapat ditegaskan bahwa reaksi terhadap streslah yang merusak. Masing-masing dari kita menghadapi stres dengan cara berbeda. Ada orang yang bekerja dalam tekanan tinggi dalam jangka waktu lama, tetapi dapat tetap terjaga fungsi memorinya, sementara orang-orang lain dalam situasi tersebut telah kewalahan. Jadi yang menjadi persoalan adalah bagaimana respon kita terhadap stres, bukan pada sumber stres (stressor).

Dalam hal ini berlaku sama seperti yang telah dijelaskan, stres yang intensif memicu pelepasan hormon kortisol yang dapat mengganggu ingatan. Jadi yang penting adalah menemukan cara memodifikasi respon terhadap stres.

Sebagian orang dapat mengatasi stres dengan aktivitas fisik seperti berolahraga. Beberapa orang lain dapat mengatasi stres dengan melakukan rileksasi atau meditasi. Sebagian lainnya melakukan pengenalan terhadap batas stres yang tidak dapat ditoleransi, dan selanjutnya secara asertif (tegas tetapi sopan) menolak tugas-tugas yang tidak dapat ditanggungnya lagi.

Mengelola Fungsi Memori
Selain faktor usia dan stres, masih banyak faktor yang dapat menurunkan fungsi memori. Faktor-faktor itu antara lain genetik, hormon, penyakit-penyakit yang terkait dengan penuaan, gangguan neurologis (stroke, alzheimer, dsb), kanker, efek samping beberapa jenis obat, gangguan tidur, pola makan dan gizi, alkohol, kurang olahraga, kurang stimulasi intelektual, merokok, penggunaan obat terlarang.

Untuk mencegah penurunan daya ingat atau mempertahankan daya ingat yang kuat, Nelson memberikan saran berupa kebiasaan sehat yang dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit yang dapat merusak ingatan dan menghindari penggunaan obat yang memiliki efek samping merusak ingatan. Selain itu juga beberapa strategi untuk memperkuat fungsi kognitif, termasuk memori.

Saran-saran ini cukup sederhana, mudah dilaksanakan dan tidak mahal, yaitu:
Olahraga teratur.
Pinggirkan rokok.
Tambahkan vitamin.
Ikut terlibat dengan orang lain.
Mengonsumsi makanan sehat.
Atur tidur malam yang nyenyak.
Latihan hal-hal baru.
Minum alkohol tidak berlebihan.
Eksistensi hidup yang bermakna.
Mengelola stres.
Organisasikan pikiran Anda. Organisasikan hidup Anda.
Rawat dan lindungi otak secara terus-menerus.
Ya, Anda bisa! Pertahankan sikap yang positif.

Tetap Positif dalam Situasi Sulit


Mungkin kita merasa kesal, muak, dan marah membaca berita-berita di koran: penggelapan pajak, mafia hukum, bentrokan berkekerasan, pemerkosaan, dan banyak lainnya. Semua seperti menambahi frustrasi dan kesulitan pribadi kita dalam menjalani hidup.

Semua penyelewengan dan persoalan di atas tentu tidak dapat dibiarkan. Tetapi, secara pribadi kita tetap perlu mempertahankan suasana hati positif bagaimanapun kondisi sosial yang melingkupi kita. Saya meminjam usulan praktis dari Michele Moore (1999) dan ”the Happiness Habit Team”. Berdasarkan wawancaranya, Moore menemukan keterampilan dan strategi-strategi dari pribadi-pribadi yang menghadapi banyak kesulitan tetapi tetap dapat mempertahankan suasana hati positif. Semoga kita dapat memanfaatkan temuan Moore agar dapat tetap memaksimalkan perasaan nyaman di tengah gonjang-ganjing persoalan.

Sikap positif

Yang pertama adalah mengakui perasaan negatif kita, entah itu kesedihan dan kemarahan, lalu menunjukkan kepedulian pada diri sendiri. (”Pasti marah kalau aku selalu jujur dan—jangan-jangan semua pejabat tinggi—ternyata korupsi. Ya, sudah, tenangkan hati. Dengar musik dulu deh….”)

Kita perlu berupaya untuk tidak ditenggelamkan oleh energi negatif. Kita menetapkan sendiri bagaimana akan berpikir, merasa dan mengambil tindakan, serta bertanggung jawab penuh atas keputusan kita. Penilaian negatif sebisa mungkin ditransformasikan dalam tindakan-tindakan positif. (”Dia menganggap aku seburuk itu, dan dia keliru. Jadi, aku akan tetap dengan sikapku dan tidak perlu dipengaruhi oleh penilaian negatifnya.”) Atau, kita memfokuskan waktu, energi, dan perhatian pada hal-hal lain yang konstruktif.

Visi positif ke depan

Ini sering kita lakukan, tetapi sesungguhnya kurang konstruktif: mengeluh, mengevaluasi dan ”mencari-cari kesalahan”. Yang terjadi sudah terjadi dan lebih penting untuk memperbaiki ke depan dengan memfokuskan diri pada visi positif, bukan terpaku pada kesalahan-kesalahan pada masa lalu. Lebih baik berfokus pada apa yang ingin kita capai dengan memperjelas sasaran dan strategi mencapainya.

Dalam berbagai keterbatasan dan kesulitan, kita tetap perlu punya waktu yang dapat kita nikmati untuk bersenang-senang. Hal ini sekaligus untuk mengisi kembali energi. Tidak perlu dengan biaya mahal: bertemu sahabat lama, nonton film dengan anak, naik sepeda, atau bila memungkinkan, mengubah pekerjaan menjadi suatu hal yang dapat dinikmati (”Ya sudah deh, anggap saja latihan supaya saya lebih mampu melobi”. Atau ”Lihat saja sisi positifnya jadi aku bisa belajar dari dia yang rendah hati sekaligus sangat hebat’.”)

Memperjelas aksi dan capaian

Agar tidak merasa sesak dan tak berdaya, kita perlu merencanakan rangkaian langkah spesifik, yang dirumuskan dengan jelas, dan mensyukuri keberhasilannya. Membuat daftar tugas dan mengecek capaiannya akan banyak membantu meningkatkan kepercayaan diri dan suasana hati.

Kesulitan dan kekacauan hidup menjadi tanda bahwa kita harus bergerak, mungkin harus mengubah suatu hal atau malahan banyak hal. Mungkin kita harus mengubah cara kita berpikir, cara kita merasa, cara kita bertindak. Bukan menyalahkan diri, tetapi demi keterarahan diri pada visi dan capaian ke depan. (”Kita sudah kerja keras sekali, tetapi ternyata strategi lembaga kita kurang efektif. Kita harus jujur mengakui dan berani mengubah diri.”)

Manfaat dari rasa marah

Kita perlu menemukan manfaat dari rasa marah kita, menyalurkan emosi dan rasa marah menjadi tujuan-tujuan positif. Kemarahan perlu dipindahkan menjadi energi positif untuk mencari cara yang lebih efektif, memindahkan fokus, mengeksplorasi pendekatan-pendekatan baru, mengembangkan keterampilan berbeda, mengubah strategi bekerja sama dengan lingkungan dan seterusnya.

Kita juga tetap perlu menjadi diri sendiri, hidup dengan nilai-nilai pribadi yang menurut kita baik, dan melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan. Ketika kita melakukan yang terbaik dan tidak berkompromi dengan kebohongan atau sikap masa bodoh, suara hati kita akan tetap jelas memandu langkah kita pada waktu-waktu selanjutnya.

Kata Moore, orang yang paling dapat mempertahankan rasa nyaman dan bahagia adalah orang yang ”paling peduli dan paling memiliki cinta”. Cinta di sini bukan dalam arti sempit, cinta romantis atau cinta pada perorangan, tetapi cinta dan kepedulian pada sesama, pada yang lain. Kata Moore ”the happiest people are the most loving people. To be happy, love what you do, love the people around you, love your work and love yourself.”

Berserah

Pada akhirnya kita berserah. Berserah bukan berarti menyerah atau mengambil posisi kalah. Berserah hanya dapat terjadi ketika kita telah melakukan langkah dan upaya yang terbaik, lalu menyerahkan hasilnya pada yang memiliki kekuasaan jauh lebih besar daripada kita (Tuhan atau entah kita menyebutnya apa).

Bila kita hanya mengeluh dan mempersalahkan pihak lain, tanpa melakukan sesuatu yang konstruktif, mungkin kita tidak berbeda dengan pihak yang kita kritik itu. Berserah dapat dimaknai sebagai tetap mempertahankan tujuan dan nilai hidup kita, tetapi mencapainya melalui jalan dan sarana berbeda.

Kalau kita tidak bisa mengubah negara karena kita bukan penguasa, ya kita dapat menularkan nilai yang kita anggap baik pada keluarga, teman-teman dan lingkungan dekat. Menyisihkan sebagian penghasilan atau waktu kita untuk mengejawantahkan nilai-nilai positif kita dan memastikan kebermanfaatannya bagi orang lain, sudah pasti akan sangat berguna sekaligus membuat diri sendiri bahagia.

Selasa, 27 April 2010

Karier di Puncak, Tetapi Tak Punya Teman...


Setiap kali masuk ke dalam fase baru dalam kehidupan, berbagai macam perubahan pasti akan terjadi. Dalam karier pun demikian. Begitu jabatan Anda naik, jangan harap semuanya akan sama. Perubahan dalam tanggung jawab, itu sudah pasti. Tapi, yang banyak orang tidak siap menghadapinya adalah perubahan hubungan pertemanan dengan rekan-rekan kerja. Tidak sedikit, lho, orang mengeluh, makin tinggi posisinya, semakin sedikit teman-temannya. Sehingga, ia sering merasa ditinggalkan dan sendiri.

Anda Enggak Asyik Lagi?
Dulu, Anda paling seru kalau diajak bergosip. Bahkan, mungkin Andalah sumber gosip itu. Dari soal atasan yang makin enggak jelas marah-marahnya kalau sedang putus cinta, sampai hubungan "cinta terlarang" antara seorang rekan kerja dengan salah seorang bos yang sudah punya istri dan 2 orang anak, Anda bisa seru menanggapi semua itu.

Tapi sekarang, itu tidak mungkin lagi terjadi. Masa bos ngegosip bersama anak buah? "Di mana wibawa saya?" Begitu mungkin yang ada di dalam pikiran Anda. Batasan itu juga yang dilakukan rekan-rekan Anda. Bukan karena mereka memusuhi Anda, tapi lebih karena perasaan tak enak hati karena merasa sudah tidak setara lagi dengan Anda. Apalagi jika peningkatan posisi Anda itu adalah sebagai bos mereka. Wah, makin sungkan lagi mereka mengajak Anda.

Selain itu, mungkin mereka juga mempunyai kekhawatiran Anda tak lagi "loyal" pada hubungan pertemanan, karena wewenang Anda lebih luas dan akses ke pimpinan lebih terbuka. Sehingga apa yang Anda dengar bisa langsung sampai ke telinga atasan. "Duh, jangan ajak-ajak dia, deh, bisa-bisa kita nanti diaduin". Mungkin itu yang ada di pikiran mereka.

Beban pekerjaan dan tanggung jawab yang semakin banyak juga menjadi kendala tersendiri. Makin banyak saja rapat yang harus Anda hadiri, dan semakin bertambah pula frekuensi lobi dengan klien-klien besar yang harus dilakukan. Waktu Anda pun semakin sempit. Jangan untuk bersenda, untuk "meluruskan kaki" saja sulit. Makan siang lebih sering dilakukan bersama klien-klien di luar atau Anda melakukannya sembari mengerjakan tugas-tugas di meja kerja.

Pokoknya, sejak menjadi bos, Anda "enggak asyik" lagi, karena begitu banyak "keterbatasan" yang tidak memungkinkan Anda seperti dulu lagi. Mungkin, Anda tidak dengan sengaja bermaksud menjadi orang seperti itu, tapi sulit mengelak dari kondisi itu. Walaupun, ada juga orang-orang yang begitu naik jabatan, sikapnya berubah 180 derajat. Berubah menjadi bossy, menjadi tidak ramah karena merasa harus menjaga wibawa. Nah, kalau Anda seperti ini, baru namanya enggak asyik.

Kamis, 22 April 2010

Benci, Emosi dan Cinta ???????

Memang ada apa dengan Benci, Emosi dan Cinta? Tidak ada apa-apa hanya mencoba merenungi apa arti sebenarnya antara benci, emosi dan cinta itu.

Kita mulai saja dengan benci, kebencian atau benci merupakan suatu emosi jiwa yang terasa sangat kuat didalam diri yang melambangkan ketidaksukaan, antipati kepada seseorang, sesuatu hal, suasana atau barang. Yang merupakan sesuatu hal untuk ingin menghindari, menghilangkan atau menghancurkannya.

Banyak orang yang beranggapan bahwa lawan dari cinta adalah benci tetapi banyak juga yang mendeskripsikannya bahwa lawan dari cinta yaitu ketidakpedulian.

Sedangkan mengenai emosi, kata “emosi” berasal dari perkataan bahasa Perancis, émotion, dari émouvoir, ‘kegembiraan’ dari bahasa Latin emovere, dari e- (varian eks-) ‘luar’ dan movere ‘bergerak’. Kata “Motivasi” juga diturunkan dari kata movere. Emosi merupakan peningkatan kemampuan seseorang untuk mengalami dan mengevaluasi lingkungannya dan kemudian menambah kemungkinan hidup dan bereproduksi, dengan mempersiapkan rencana sederhana untuk berbagai tingkah yang diperlukan, seperti mendekati atau menjauhi obyek yang (tidak) bisa dicerna, bersaing bersama orang lain atau lari jika orang itu terlalu kuat (kemarahan vs. ketakutan), dan membentuk atau kehilangan ikatan kooperatif berdasarkan pada altruisme berbalasan (kebanggaan vs. kesedihan) dengan orang lain.

Cinta, banyak yang mengatakan bahwa cinta itu ada sejak dilahirkan, cinta itu indah, cinta itu mengharapkan balasan, cinta itu suci, dan sebagainya.

Kisah Cinta Kakek dan Nenek


Ada sepasang suami-istri yang berjualan nasi kuning di sebuah kompleks perumahan di Bandung. Umur mereka sudah tidak muda lagi. Sang suami mungkin sudah berumur lebih dari 70, sedangkan istrinya sekitar 60-an. Di sekitar mereka ada beberapa gerobak lain yang juga menjual makanan untuk sarapan pagi. Tapi dari semuanya, hanya gerobak mereka yang paling sepi.

Setiap pagi, dalam perjalanan menuju ke kantor, saya selalu melewati gerobak mereka yang selalu sepi. Gerobak itu tidak ada yang istimewa. Cukup sederhana. Jualannya pun standar.

Setiap pagi pula, sepasang suami-istri itu duduk menjaga gerobak mereka dalam posisi yang selalu sama. Sang suami duduk di luar gerobak, sementara istrinya di sampingnya. Kalau ada pembeli, sang suami dengan susah payah berdiri dari kursi (kadang dipapah istrinya) dan dengan ramah menyapa pembeli. Jika sang pembeli ingin makan di tempat, sang suami merapikan tempat duduk, sementara istrinya menyiapkan nasi kuning dan menyodorkan piring itu pada suaminya untuk diberikan pada sang pelanggan. Kalau sang pembeli ingin nasi kuning itu dibungkus, sang istri menyiapkan nasi kuning di kertas pembungkus, dan menyerahkan nasi bungkusan itu pada suaminya untuk diserahkan pada sang pelanggan.

Saat sedang sepi pelanggan, pasangan suami-istri itu duduk diam. Sesekali jika istrinya agak terkantuk-kantuk, suaminya mengurut punggung istrinya. Atau jika suaminya berkeringat, sang istri dengan sigap mengambil sapu tangan dan mengelap keringat suaminya.

Kalau mau jujur, nasi kuning mereka tidak terlalu spesial. Sangat standar. Tapi, kalau saya mencari sarapan pagi, saya selalu membeli masi kuning di tempat mereka. Bukan spesial-tidaknya. Tapi lebih karena cinta mereka yang membuat saya tergerak untuk selalu mampir.

Dalam kesederhanaan, kala susah dan sedih karena tidak ada pelanggan, mereka tetap bersama. Sang suami tidak pernah memarahi istrinya yang tidak becus masak. Sang istri pun tidak pernah marah karena gerakan suaminya yang begitu lamban dalam melayani pelanggan. Dia bahkan memberi kesempatan suaminya untuk melayani pelanggan.

Mereka selalu bersama, dan saling mendukung, bahkan di saat susah sekali pun.

Hingga hari ini, sudah 10 tahun saya lewati tempat itu, mereka masih tetap di tempat yang sama, menjual nasi kuning, dan selalu bersikap sama. Penuh kesederhanaan. Penuh kasih sayang. Dan saling menguatkan di saat susah.

Jika Anda berkunjung ke Bandung, Anda bisa mampir ke jalan raya komplek Taman Cibaduyut Indah. Tidak susah mencari gerobak mereka yang sederhana. Carilah gerobak yang paling sepi pelanggan. Mereka berjualan sejak pukul 07.00 hingga siang hari (mungkin sekitar 11.00, karena saya pernah ke kantor jam 11.00, mereka sudah tidak ada). Jujur, nasi kuning mereka sangat standar & tidak selengkap gerobak nasi kuning lain di sekeliling mereka. Namun, cinta kasih mereka membuat makanan yang sederhana itu terasa begitu nikmat. Cinta kasih yang begitu tulus, sederhana, apa adanya. Bahkan dalam kesusahan sekalipun, mereka tetap saling menguatkan.

Sebuah kisah cinta yang luar biasa......
sumber : http://iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/2499.htm

Kenali Karakter Orang Lewat Tulisan Tangan


Saat kita menulis sebenarnya tangan kita hanya sebagai alat untuk memegang pena. Gaya tulisan kita itu berasal dari pikiran bawah sadar kita. maka bisa dikatakan bahwa tulisan bisa mengungkapkan berbagai perasaan emosi si penulisnya. Tentu saja untuk mengetahuinya tidak sembarangan ada ilmu membaca rahasia dibalik tulisan tangan atau yang disebut dengan graphology. Ambil pulpenmu dan tuliskan sesuatu yang mana yah kira-kira karaktermu? Berikut penjelasan secara garis besarnya.
Tekanan
Dari kuat atau ringannya tekanan tulisan seseorang kita dapat mengetahui karakter orang tersebut. Bisa kamu perhatikan dengan memperhatikan bekas goresan dibalik kertas.

Tekanan yang kuat:
Orang yang tulisannya tebal hingga menimbulkan bekas coretan dibalik kertas biasanya mereka memiliki emosional yang tinggi. Terlalu mendalami perasaan mereka baik itu bahagia atau sakit hati. Mereka menyerap segala suatu seperti spon. Biasanya mereka juga memiliki selera yang tinggi. Tegas dan memiliki keinginan yang kuat bahkan cenderung memaksakan orang lain untuk menuruti kemauan meraka. Makanya tak jarang orang yang memiliki tekanan tulisan seperti ini biasanya kaku susah menyesuaikan diri dalam pergaulan.

Tekanan yang ringan:
Tulisan yang memiliki tekanan halus mencerminkan kepribadian yang tenang dan santai. Mereka lebih bertoleransi pengertian sulit mengambil keputusan dan biasanya mudah terpengaruh

Ukuran
Tulisan besar
Orang yang menulis dengan ukuran tulisan yang besar biasanya cenderung suka diperhatikan selalu ingin tampil didepan dan ingin didengarkan.

Tulisan kecil
Orang yang menulis dengan ukuran kecil biasanya lebih memperhatikan detail introspektif cenderung lebih pendiam dan mandiri

Kemiringan

Miring ke kanan
Orang dengan tulisan seperti ini biasanya memiliki karakter yang impulsif emosional aktif suka bergaul ramah menyukai tantangan lebih terbuka (ekstrovert) dan ekspresif

Miring ke kiri
Jenis tulisan seperti ini biasanya penulisnya bersikap menutup diri (introvert). Lebih protektif selalu berpikir logis dan mencerminkan sifat seseoarang yang lebih menarik diri.

Tegak lurus
Orang yang memiliki tulisan tegak lurus mencerminkan seseorang yang bisa mengontrol diri dan bisa menahan Saat kita menulis sebenarnya tangan kita hanya sebagai alat untuk memegang pena. Gaya tulisan kita itu berasal dari pikiran bawah sadar kita. maka bisa dikatakan bahwa tulisan bisa mengungkapkan berbagai perasaan emosi si penulisnya. Tentu saja untuk mengetahuinya tidak sembarangan ada ilmu membaca rahasia dibalik tulisan tangan atau yang disebut dengan graphology. Ambil pulpenmu dan tuliskan sesuatu yang mana yah kira-kira karaktermu?

Mengungkap Arti Bahasa Tubuh


Bahasa tubuh Anda akan mengirimkan sinyal kepada pikiran bawah sadar lawan bicara. Lewat bahasa tubuh, tabir perasaan lawan bicara akan tersibak.

Kita bisa mempelajari bahasa tubuh lawan bicara. Purnawan E. Andoko dari Wellness World memberi rahasianya:

Bahasa Kepala
- Condong ke arah Anda: tertarik, setuju.
- Menjauh secara mendadak: curiga, tidak percaya.
- Topang dagu: bosan.
- Mengangguk: setuju.
- Banyak menoleh: tidak sabar, ingin menyudahi pembicaraan.

Bahasa Mata
- 60 persen menatap langsung: tertarik.
- 80 persen tatapan langsung: tertarik secara seksual.
- 100 persen tatapan langsung: perlawanan.
- Penghindaran tatapan: me¬nyem¬bunyikan sesuatu.
- Lensa mata membesar: sangat tertarik.
- Tatapan jatuh ke bawah dan melirik ke kiri/kanan: tertarik pada Anda.
- Lirik kanan/kiri langsung: bosan.
- Kedipan cepat: tidak setuju.

Bahasa Tangan
- Telapak terbuka ke atas: jujur terbuka.
- Telapak di saku atau tertutup: menyembunyikan sesuatu.
- Mengepal: tegang, tidak nyaman, marah.
- Menutup mulut/hidung: indikasi berbohong.
- Membentuk kerucut: percaya diri atau yakin.
- Tangan di atas meja: siap untuk setuju.
- Jari mengetuk-ngetuk: bosan atau ingin bicara.

Gerakan Lain
- Dada atau pinggul didekatkan: tertarik secara seksual.
- Kaki mengetuk lantai: ingin bicara atau bosan.

Nada atau Kecepatan Bicara
- Lambat dan nada akhir turun: yakin dan menguasai.
- Penekanan kata: otoritatif.
- Nada dan kecepatan meninggi: emosi, tegang, atau menyembunyikan sesuatu.

Bahasa Penolakan
- Kaki atau tangan bersilang.
- Melirik ke kiri/kanan, kepala menoleh ke kiri atau kanan.
- Tatapan langsung minimal.
- Mengetukkan jari atau kaki. Arah kaki tidak kepada Anda.
- Postur tubuh tertutup.

Bahasa Keterbukaan
- Tatapan langsung banyak dengan lensa mata membesar.
- Tangan menangkup membentuk menara.
- Arah kaki kepada Anda.
- Postur tubuh terbuka.

Bahasa Siap Menerima
- Kontak mata lebih 60 persen dan banyak senyum lepas.
- Tubuh atau kepala mencondong kepada Anda.
- Banyak anggukan dan wajah menghadap langsung ke Anda.
- Tangan terbuka di atas meja.

Bahasa Curiga
- Postur tubuh tertutup
- Tangan berada di saku atau posisi menyilang.
- Tatapan melalui sudut mata (lirikan) berulang kali.
- Arah kaki menyerong.

Bahasa Tidak Jujur
- Banyak menatap ke samping khususnya pada bagian kata atau kalimat bohong.
- Tangan sering menutup mulut atau hidung, atau meraba hidung atau telinga.
- Postur tidak nyaman.

free counter